Pemerintah melalui Menteri Pendidikan Nasional berencana menaikkan lagi standar kelulusan siswa pada Ujian Nasional (UN) mendatang. Sebelumnya standar kelulusan itu 4,5 direncanakan naik menjadi 5,5 pada 2011.
Diakui atau tidak, UN menjadi momok menakutkan bagi siswa. Bagaimana tidak, UN menjadi penguasa penuh menentukan kelulusan. Kalau tidak mencapai standar kelulusan, maka sia-sialah belajar selama tiga tahun di sekolah.
Memang benar, pemerintah memperbolehkan ujian ulangan bagi siswa yang tidak lulus. Namun, ada yang terlupa oleh pemerintah, remaja usia SD, SMP dan SMA masih labil. Mereka cenderung emosi dalam menghadapi persoalan.
Banyak kasus yang terjadi ketika pengumuman kelulusan UN. Misalnya ada siswa yang pingsan, ada yang menghancurkan sekolah bahkan ada yang nekat bunuh diri.
Banyak yang memberi saran kepada pemerintah untuk meninjau ulang UN sebagai satu-satunya penentu kelulusan peserta didik dalam menempuh pendidikan.
Dalam pasal 58 ayat 1 Undang-Undang NO 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan, ‘’Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan. Pada ayat (2), “Evaluasi peserta didik, satuan pendidikan, dan program pendidikan dilakukan oleh lembaga mandiri secara berkala, menyeluruh, transparan, dan sistemik untuk menilai pencapaian standar nasional pendidikan.
Sementara, pasal 72 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 19 tentang Standar Nasional Pendidikan menyatakan peserta didik dinyatakan lulus dari satuan pendidikan pada pendidikan dasar dan menengah setelah menyelesaikan seluruh program pembelajaran, memperoleh nilai minimal untuk mata pelajaran akhlak mulia/kewarganegaraan, lulus ujian sekolah, dan UN.
Ini berarti PP tersebut jelas menyatakan UN bukanlah satu-satunya penentu kelulusan peserta didik. Namun kenyataannya, UN menjadi semacam hak veto menentukan kelulusan.
Sudah jamak diketahui, kualitas pendidikan di satu daerah berbeda dengan daerah. dari Sabang sampai Merauke, tidak sama tingkat pendidikannya.
Kalau di kota iyalah, bisa saja disamakan. Akan tetapi, berbeda halnya jika siswa yang bersekolah di kampung atau di pelosok nagari.
Setidaknya dengan desakan dari berbagai elemen masyarakat sikap pemerintah mulai melunak. Pemerintah tidak ngotot lagi menjadikan UN sebagai satu-satunya penentu kelulusan.
Lulusnya siswa ditentukan empat faktor, yakni ujian sekolah, ujian nasional, ketuntasan belajar mengajar, dan akhlak.
Pemerintah mengusulkan enam mata pelajaran diujikan dalam UN dan enam mata pelajaran diujikan melalui UAS. Hasil UN dan UAS akan digabung lalu dibagi dua.
Kendati demikian masih ada perdebatan komposisi hitungan nilai penetu keluluasan. Pemerintah mengusulkan 60 persen UN dan 40 persen UAS. Banyak kalangan menilai itu masih sama menjadikan UN sebagai penentu karena porsinya lebih besar.
Sebaiknya UN hanya sebagai penambah nilai saja tidak sebagai penentu. Hal ini perlu menjadi perhatian serius bagi pemerintah. Jangan sampai UN terus menghantui siswa.
Diakui atau tidak, UN menjadi momok menakutkan bagi siswa. Bagaimana tidak, UN menjadi penguasa penuh menentukan kelulusan. Kalau tidak mencapai standar kelulusan, maka sia-sialah belajar selama tiga tahun di sekolah.
Memang benar, pemerintah memperbolehkan ujian ulangan bagi siswa yang tidak lulus. Namun, ada yang terlupa oleh pemerintah, remaja usia SD, SMP dan SMA masih labil. Mereka cenderung emosi dalam menghadapi persoalan.
Banyak kasus yang terjadi ketika pengumuman kelulusan UN. Misalnya ada siswa yang pingsan, ada yang menghancurkan sekolah bahkan ada yang nekat bunuh diri.
Banyak yang memberi saran kepada pemerintah untuk meninjau ulang UN sebagai satu-satunya penentu kelulusan peserta didik dalam menempuh pendidikan.
Dalam pasal 58 ayat 1 Undang-Undang NO 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan, ‘’Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan. Pada ayat (2), “Evaluasi peserta didik, satuan pendidikan, dan program pendidikan dilakukan oleh lembaga mandiri secara berkala, menyeluruh, transparan, dan sistemik untuk menilai pencapaian standar nasional pendidikan.
Sementara, pasal 72 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 19 tentang Standar Nasional Pendidikan menyatakan peserta didik dinyatakan lulus dari satuan pendidikan pada pendidikan dasar dan menengah setelah menyelesaikan seluruh program pembelajaran, memperoleh nilai minimal untuk mata pelajaran akhlak mulia/kewarganegaraan, lulus ujian sekolah, dan UN.
Ini berarti PP tersebut jelas menyatakan UN bukanlah satu-satunya penentu kelulusan peserta didik. Namun kenyataannya, UN menjadi semacam hak veto menentukan kelulusan.
Sudah jamak diketahui, kualitas pendidikan di satu daerah berbeda dengan daerah. dari Sabang sampai Merauke, tidak sama tingkat pendidikannya.
Kalau di kota iyalah, bisa saja disamakan. Akan tetapi, berbeda halnya jika siswa yang bersekolah di kampung atau di pelosok nagari.
Setidaknya dengan desakan dari berbagai elemen masyarakat sikap pemerintah mulai melunak. Pemerintah tidak ngotot lagi menjadikan UN sebagai satu-satunya penentu kelulusan.
Lulusnya siswa ditentukan empat faktor, yakni ujian sekolah, ujian nasional, ketuntasan belajar mengajar, dan akhlak.
Pemerintah mengusulkan enam mata pelajaran diujikan dalam UN dan enam mata pelajaran diujikan melalui UAS. Hasil UN dan UAS akan digabung lalu dibagi dua.
Kendati demikian masih ada perdebatan komposisi hitungan nilai penetu keluluasan. Pemerintah mengusulkan 60 persen UN dan 40 persen UAS. Banyak kalangan menilai itu masih sama menjadikan UN sebagai penentu karena porsinya lebih besar.
Sebaiknya UN hanya sebagai penambah nilai saja tidak sebagai penentu. Hal ini perlu menjadi perhatian serius bagi pemerintah. Jangan sampai UN terus menghantui siswa.
0 komentar:
Posting Komentar